Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku

Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku terdiri dari Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Tema pembangunan Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku adalah sebagai Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional. Strategi pembangunan ekonomi Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku difokuskan pada 5 kegiatan Ekonomi utama, yaitu Pertanian Pangan – MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate), Tembaga, Nikel, Migas, dan Perikanan.

Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku

Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku


Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah, namun di sisi lain terdapat beberapa masalah yang harus menjadi perhatian dalam upaya mendorong perekonomian di koridor ini, antara lain:

  • Laju pertumbuhan PDRB di Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku dari tahun 2006–2009, tergolong relatif tinggi, yakni sebesar 7 persen, namun besaran PDRB tersebut relatif kecil dibanding dengan koridor lainnya;
  • Investasi yang rendah di Papua disebabkan oleh tingginya risiko berusaha dan tingkat kepastian usaha yang rendah;
  • Keterbatasan infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi;
  • Jumlah penduduk yang sangat rendah dengan mobilitas tinggi memberikan tantangan khusus dalam pembuatan program pembangunan di Papua. Kepadatan populasi Papua adalah 12,6 jiwa/km2, jauh lebih rendah dari rata-rata kepadatan populasi nasional (124 jiwa/km2).

Perkembangan Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku
Pada tahun 2011 ada 3 proyek MP3EI di Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku yang groundbreaking. Total nilai investasi yang telah groundbreaking sebesar 79,2 triliun rupiah, dengan rincian: Pembangunan Pabrik Nikel dan Kobalt di Halmahera (PT. Weda Bay Nickel) sebesar 48,6 triliun rupiah, Pembangunan Pabrik FerroNikel HalmaheraTermasuk PowerPlant 275 MW (PT. Antam) sebesar 14,4 triliun rupiah dan Perluasan Produksi Emas Halmahera (PT. Nusa Halmahera Minerals) sebesar 16,2 triliun rupiah.

Keunggulan Koridor Ekonomi Papua dan Kepulauan Maluku

1. Pertanian Pangan
Dalam rangka mengantisipasi krisis pangan dan energi, maka Kawasan Merauke telah ditetapkan sebagai lumbung pangan dan energi di Kawasan Timur Indonesia dengan pertimbangan kawasan ini memiliki potensi lahan datar dan subur. Kegiatan tersebut diwujudkan dalam bentuk pengembangan MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate). MIFEE merupakan kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), modal, serta organisasi dan manajemen modern.

Pengembangan MIFEE dialokasikan seluas 1,2 juta Ha yang terdiri dari 10 Klaster Sentra Produksi Pertanian (KSPP). Lokasi sebaran KSPP tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.G.4 Sebagai prioritas pengembangan MIFEE jangka pendek (2011 – 2014) maka dikembangkan klaster I sampai IV, seluas 228.023 Ha. Empat Klaster Sentra Produksi Pertanian yang dikembangkan yaitu: Greater Merauke, Kali Kumb, Yeinan, dan Bian di Kabupaten Merauke. Untuk jangka menengah (kurun waktu 2015 – 2019) diarahkan pada terbangunnya kawasan sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan, serta perikanan darat di Klaster Okaba, Ilwayab, Tubang, dan Tabonji. Untuk jangka panjang (kurun waktu 2020 – 2030) diarahkan terbangunnya kawasan sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan serta perikanan di Klaster Nakias dan Selil.

Tanaman yang akan ditanam di Kawasan MIFEE antara lain padi, jagung, kedelai, sorgum, gandum, sayur dan buah-buahan, serta peternakan seperti ayam, sapi, kambing, kelinci serta tanaman non-pangan seperti tebu, karet, dan kelapa sawit.

2. Perikanan
Indonesia memiliki kedudukan penting di sektor perikanan. Dengan luasnya wilayah perairan di Indonesia, maka Indonesia berpeluang untuk menjadi salah satu negara eksportir komoditas perikanan terbesar dunia. Saat ini pertumbuhan produksi makanan laut mencapai 7 persen per tahun. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu produsen makanan laut terbesar di Asia Tenggara.

Sebagai contoh, untuk produksi ikan tuna, Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara penghasil tuna terbesar dunia. Hal ini sejalan dengan semakin bertambahnya produksi perikanan di Indonesia dari tahun ke tahun, yang masih didominasi perikanan tangkap. Total produksi perikanan di 2010 mencapai 10,83 juta ton, naik 10,29 persen dibandingkan 2009 sebesar 9,82 juta ton.

Berdasarkan sebaran produksi perikanan di wilayah Indonesia, terlihat bahwa Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku merupakan wilayah yang memiliki produksi perikanan laut ke-5 terbesar di Indonesia.

Untuk Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku, kegiatan perikanan difokuskan di perairan Kepulauan Maluku karena potensinya yang sangat besar. Untuk itu Maluku ditetapkan menjadi Kawasan Lumbung Ikan Nasional. Sedangkan Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua tidak memiliki potensi perikanan sebesar Maluku. Kegiatan perikanan di Maluku Utara hanya bersifat pengolahan, dan distribusi hasil perikanan. Pengembangan perikanan di Maluku Utara akan dirintis dengan mengembangkan Mega Minapolitan Morotai sedangkan di Papua Barat dan Papua hanya terdapat kegiatan perikanan yang masih kecil sehingga pengembangannya perlu didorong sesuai dengan potensi yang ada.

Di Maluku, sektor pertanian berkontribusi paling besar dalam membentuk perekonomian Maluku untuk tahun 2009, yaitu sebesar 33 persen. Diantara seluruh sub sektor pertanian, sektor perikanan merupakan sub-sektor yang mengalami peningkatan yang paling besar yaitu sebesar 1,86 persen pada tahun 2009.

Tercatat Provinsi Maluku membukukan kenaikan sekitar 24 persen dari produksi perikanan tangkapnya antara tahun 2001 sampai 2006 (DKP, 2006). Masih di tahun yang sama, bila dibandingkan dengan data produksi perikanan tangkap dari provinsi yang lain, maka terlihat bahwa Maluku tercatat sebagai provinsi dengan persentase kenaikan produksi perikanan tangkap terbesar di Indonesia.

Saat ini menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi perikanan Maluku ada di Laut Banda, Laut Seram dan Laut Arafura. Ketiga lokasi potensial itu disebut golden fishing ground. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga akan membuat simpul pengolahan industri perikanan di Maluku, yakni di Tual, Ambon dan Seram.

Pembangunan budidaya perikanan Maluku mempunyai peluang yang sangat besar dilihat dari lingkungan strategis dan potensi sumberdaya yang tersedia, yakni berupa:

  • Peningkatan jumlah penduduk dunia membutuhkan semakin banyak penyediaan ikan;
  • Pergeseran pola konsumsi masyarakat dunia ke produk perikanan;
  • Tuntutan penyediaan makanan bermutu tinggi dan memenuhi syarat kesehatan;
  • Keunggulan komparatif terhadap pasar dunia karena letaknya yang relatif dekat dengan negara tujuan ekspor, seperti Jepang;
  • Memiliki potensi sumber daya lahan yang sangat besar, akan tetapi belum dimanfaatkan dengan optimal;
  • Rendahnya kualitas mutu produk olahan ikan sehingga sulit bersaing di pasar ekspor.

Tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan sektor perikanan di koridor ini adalah:

  • Sulitnya mendapatkan modal usaha dari perbankan bagi usaha perikanan kecil.
  • Belum termanfaatkannya potensi Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (1,62 juta ton/tahun).
  • Belum terpadunya kegiatan usaha penangkapan ikan, tambak ikan, budidaya rumput laut dan industri pengolahan.
  • Masih kurangnya infrastuktur pelabuhan, power dan energi, serta bangunan yang dapat mendukung kegiatan perikanan.
  • Teknologi penangkapan dan pengolahan hasil ikan belum memadai.

Strategi yang dapat dilakukan adalah memberikan kredit mikro kepada para nelayan, mengembangkan industri produk olahan ikan, meningkatkan kualitas produk perikanan di pasar lokal dan ekspor, mempertahankan keberlanjutan sektor perikanan melalui pemberdayaan nelayan, serta meningkatkan kapasitas infrastruktur.

3. Nikel
Kegiatan pertambangan nikel dengan produksi sekitar 190 Ribu Ton per tahun, menjadikan Indonesia produsen nikel ke-4 dari 5 negara dunia yang bersama-sama menyumbang lebih dari 60 persen nikel dunia. Indonesia juga memiliki 8 persen cadangan nikel dunia oleh karena itu industri pengolahan nikel sangat layak untuk dipercepat dan diperluas pembangunannya.

Di Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku, nikel terdapat di Weda, Kab. Halmahera Tengah, Maluku Utara. Tantangan terbesar dalam percepatan dan perluasan kegiatan pertambangan nikel adalah menciptakan industri hilir dari pertambangan nikel khususnya dalam pemurnian (refining) hasil produksi nikel. Indonesia belum memilki fasilitas pemurnian nikel padahal kegiatan pemurnian memberikan nilai tambah yang sangat tinggi.

Pada saat ini, lebih dari 50 persen nikel yang diekspor dalam bentuk bijih nikel. Dari 190 Ribu Ton Bijih nikel yang diproduksi Indonesia per tahunnya, hanya sekitar 80 Ribu Ton nikel yang diekspor dalam bentuk matte. Selain itu, pengolahan nikel hanya sebatas kegiatan pertambangan dan peleburan, belum dalam bentuk produk dengan pertambahan nilai yang lebih tinggi, sehingga perlu dikembangkan industri pengolahan nikel yang bernilai lebih tinggi.

Kendala lain dalam pertambangan nikel adalah terhambatnya peningkatan tahap kegiatan eksplorasi menjadi tahap operasi dan produksi atau pembukaan area baru karena lambatnya penerbitan Izin Usaha Pertambangan, yang biasanya terkait dengan lambatnya pengurusan Izin Pinjam Pakai Lahan Hutan atau lambatnya penerbitan rekomendasi dari Pemerintah Daerah.

Beberapa tantangan investasi di pertambangan nikel, adalah masalah regulasi yang belum konsisten antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan antara kementerian satu dan lainnya. Selain itu, investor juga masih menghadapi masalah perizinan pertambangan nikel. Di lain pihak, pertambangan nikel juga menimbulkan beberapa masalah lingkungan, seperti polusi udara, penurunan kualitas tanah, sengketa tanah, dan gangguan ekosistem, disamping tantangan sosial berupa banyaknya imigran dari luar kawasan. Oleh karena itu, strategi utama pengembangan industri nikel adalah meningkatkan kegiatan investasi pertambangan nikel yang memenuhi aspek lingkungan dan aspek sosial.

4. Tembaga
Indonesia memegang peranan penting dalam rantai nilai pertambangan, peleburan, dan pemurnian. Dalam kurun waktu 2004 – 2009, secara keseluruhan, ekspor tembaga Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,24 persen. Peningkatan rata-rata tertinggi dialami oleh ekspor copper catode, yaitu sebesar 14,32 persen. Papua memiliki sumber daya mineral tembaga dan emas yang melimpah. Sebesar 45 persen cadangan tembaga nasional berada di Papua.

Khusus untuk produksi tembaga di Papua, terjadinya kondisi stagnasi produksi tembaga lebih disebabkan oleh beberapa masalah di bidang tenaga kerja dan juga terjadinya bencana alam di lokasi pertambangan. Eksplorasi dan pengolahan tembaga di Indonesia saat ini sebagian besar terpusat di Timika (Kabupaten Mimika). Namun, ekplorasi yang memerlukan biaya tinggi dan seringnya terjadi tanah longsor menyebabkan potensi lokasi penambangan lainnya belum dapat dikembangkan. Selain itu, risiko ketidakpastian peraturan menghambat pengembangan industri tembaga di Papua.

Hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah adalah dengan memanfaatkan rantai nilai di peleburan dan pemurnian, memperbaiki peraturan dan perencanaan, mendorong kesinambungan serta membangun kawasan industri pengolahan tembaga.

Saat ini, Indonesia hanya memiliki satu smelter dan refiner di Gresik, Jawa Timur dan telah direncanakan ada tiga smelter yang akan beroperasi di Maros Sulawesi Selatan pada tahun 2013, di Bontang dan Timika pada tahun 2014. Dengan beroperasinya ketiga smelter terbaru tersebut, diharapkan terjadi peningkatan surplus produksi tembaga, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri dalam/luar negeri.

5. Minyak dan Gas Bumi
Sektor minyak dan gas, merupakan penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia. Dari total penerimaan negara sebesar IDR 235 Triliun pada sektor energi dan sumber daya mineral pada tahun 2009, kontribusi minyak dan gas sebesar IDR 182,63 Triliun. Pemerintah Indonesia telah menentukan target pertumbuhan yang tinggi, yang membutuhkan energi dan investasi untuk merealisasikannya. Untuk itu, dibutuhkan investasi yang besar untuk merealisasikan potensi geologis seiring dengan pergerakan industri minyak dan gas ke wilayah yang memiliki tantangan yang lebih besar. Hasil Produksi minyak dan gas bumi dapat dikatakan separuh dari produksi energi fosil di Indonesia, disamping batu bara.

Migas memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dikembangkan menjadi pilar yang kuat dalam pertumbuhan Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku. Papua memiliki cadangan migas yang besar, minyak bumi di sekitar Sorong, Blok Pantai Barat Sarmi, Semai dan gas bumi di sekitar Teluk Bintuni. Upaya mengoptimalkan produksi migas tersebut, dapat dilakukan dengan menyeimbangkan kapasitas ekspor dan impor migas, menyediakan iklim investasi yang positif, menyempurnakan beberapa perundang-undangan dan perizinan di sektor migas, serta mendorong pencapaian target lifting minyak bumi yang pada akhirnya berdampak pada harga minyak bumi.

Sumber: kp3ei.go.id

About humas

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Provinsi Maluku Utara
This entry was posted in Berita, info, Kajian and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *